Kamis, 17 Februari 2011

KONFLIK DALAM ORGANISASI

PENGELOLAAN KONFLIK, SESUAI DENGAN PIHAK YANG TERLIBAT, menurut K. W. Thomas (dalam Neson & Quick, 1997:296-398) :
1. Avoiding, di mana ketika menghadapi konflik seseorang/kelompok menarik diri, mungkin karena pengalaman yang menyakitkan di masa lalu saat terlibat, telah terlihat dampak negatifnya (kerugian) yang lebih besar, persoalan yang malah tidak berarti (ada isu lain yang lebih mendesak), atau karena lawan yang dihadapi terlalu tangguh. Gaya ini sebaiknya dilakukan untuk mendinginkan suasana agar kembali mendapatkan pandangan yang lebih baik, ketika pengumpulan informasi lebih penting ketimbang keputusan yang tergesa-gesa, bilamana ada orang lain yang dapat selesaikan konflik secara lebih efektif, dan bila itu itu hanyalah akibat atau gejala dari isu lainnya.
2. Accomodating. Mirip dengan obliging, yang memberi kesempatan pada pihak lain melaksanakan atau memuaskan keinginannya demi menjaga hubungan baik (kerjasama) atau karena merasa sudah berada di pihak yang salah.

Gaya ini penting dalam membangun kredit sosial untuk isu-isu selanjutnya, meminimalkan kerugian dalam keadaan menang atau kalah, untuk menjaga keharmonisan dan kestabilan, serta dapat memberikan kesempatan bagi pegawai untuk mengembangkan kemampuan belajar dari kesalahan.
3. Competing, di mana dicoba meraih apa yang diinginkan untuk dituruti oleh pihak lawan. Digunakan berbagai strategi untuk memenangkan persaingan, baik itu kekuatan, himbauan, protes, argumentasi atau ancaman. Sebagai contoh, kelompok pecinta alam memprotes rencana Perusahaan Shell membangun kilang minyak di Denver. Mereka memaksa dan akhirnya Shell batal menjalankan misinya. Gaya ini dilakukan saat pengambilan keputusan harus segera dilaksanakan (emergensi), meski pengambilan tindakan tidak populer (seperti: pemotongan biaya, disiplin dan peraturan baru), mencakup isu-isu vital dan manajer sudah yakin benar, serta sudah banyak orang yang mengambil keuntungan pada perilaku non-kompetitif.
4. Compromising, sebagai gaya memberi dan menerima. Kedua kubu yang bertikai mencari jalan tengah, dengan tidak ada yang menang atau yang kalah. Gaya ini digunakan jika tujuan dirasa sangat penting tapi tak sesuai dengan usaha yang akan dilakukan atau kekacauan yang akan terjadi, demi mencapai penyelesaian sementara terhadap isu-isu kompleks, untuk mendapatkan solusi yang bijak di bawah tekanan waktu, serta menyanggah kalau kolaborasi dan kompetisi sukar tercapai.
5. Collaborating. Gaya ini didasari atas kemauan untuk menerima permintaan pihak pesaing, namun juga menuntut memperoleh kebutuhan sendiri. Peluang diberikan untuk memenuhi kehendak kedua belah pihak. Gaya ini digunakan untuk menemukan solusi yang integratif karena kedua pihak sukar dikompromikan, bertujuan pembelajaran, menggabungkan wawasan orang-orang dengan berbagai persepsi, untuk memperoleh komitmen dengan menjadikan keprihatinan sebagai konsensus dan untuk bekerja melalui perasaan-perasaan yang sebelumnya terganggu dalam berhubungan.

BEBERAPA PERTIMBANGAN PENERAPAN GAYA PENYELESAIAN KONFLIK SECARA UMUM.

Tidak ada suatu gaya penyelesaian konflik yang terbaik, karena pengunaannya bergantung pada situasi. Pemimpin harus menggunakan contingency approach dan menyesuaikan gaya pendekatan dengan situasi. Gaya penyelesaian mana yang diputuskan untuk diterapkan, seyogyanya dipertimbangkan secara matang.
Nahavandi & Malekzade (1999:465) mengemukakan beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan yaitu :
1. Kompleksitas permasalahan dan kebutuhan jangka panjang. Jika masalah kompleks, butuh cara yang seksama dan masukan dari berbagai pihak. Karena itu, pendekatan yang cocok adalah Integratif dan Compromising.
2. Unsur waktu. Bila waktu terbatas, penyelesaian harus segera dilakukan. Gaya yang cocok adalah dominating atau obligating.
3. Pentingnya suatu isu/persoalan. Jika ada persoalan hanya sepele, pemimpin tak perlu membuang waktu. Gunakanlah gaya menyelesaikan avoiding.
4. Kekuasaan dari berbagai pihak. Jika pemimpin memilki kekuasaan, dapat saja langsung memerankan gaya penyelesaian yang mudah, seperti dominating atau Integrating.

HASIL KONFLIK

Menurut Devis dan Newstrom (1989:258), situasi konflik dapat dipilah menjadi empat akibat (conflict resolution), yaitu :
1. Lose-lose (kalah-kalah), di mana salah satu pihak ingin agar konflik tersebut merusak kedua belah pihak menjadi lebih buruk. Misalnya, seorang manajer restoran memecat koki restoran yang satu-satunya mengetahui rahasia resep makanan, yang menjadikan restoran itu terkenal, disamping contoh tragis saat seseorang membunuh musuhnya kemudian membunuh dirinya sendiri.
2. Lose-Win (Kalah-menang), di mana seseorang rela mengalah karena melihat manfaat kekalahan tersebut dikemudian hari justru akan mendatangkan keuntungan. Hal ini, seperti yang dialami seorang direktur di salah satu rumah sakit, yang tetap senyum saat diberhentikan.
3. Win-Lose (menang-kalah), di mana seseorang atau satu pihak ingin mengalahkan lawannya/pihak lain, bagaimanapun caranya.
4. Win-win (menang-menang), di mana dalam situasi ini, dicari pemecahan kreatif yang menguntungkan kedua belah pihak, sehingga ketika konflik berakhir, semua pihak justru menjadi lebih baik daripada yang sebelumnya. Inilah hasil konflik yang ideal itu.

MENCIPTAKAN CONFLICT-POSITIVE ORGANIZATION

Menurut Tjosovold (dalam Nelson & Quick, 1997:400), bahwa konflik yang dikelola dengan baik, akan menunjang inovasi dan produktivitas organisasi. Terdapat empat prosedur/langkah dalam menciptakan konflik itu menjadi positif, yaitu:
1. Value diversity and confront difference. Perbedaan itu disyukuri, sebagai kesempatan untuk berinovasi. Untuk menghapus perbdeaan dan membuat konflik menjadi prositif, dibutuhkan konfrontasi yang jujur dan terbuka.
2. Seek mutual benefits and unite behind cooperative. Mengusahakan keuntungan bersama, melalui bersatu mencapai tujuan organisasi. Ini dilakukan dengan kesadaran bahwa, konflik justru membuat semua pihak saling tergantung, dan berupaya mencapai tujuan organisasi sesuai dengan kompetensi masing-masing. Upaya semua pihak harus dihargai.
3. Empower employees to fell confident and skillful. Pegawai diberdayakan, sehingga percaya diri dan trampil, dalam mengelola konflik menjadi produktif.
4. Take stock to reward success and learn from mistakes. Memberikan ganjaran bagi keberhasilan dan belajar dari kesalahan. Pegawai didorong menghargai kelebihan rekan kerja dan merayakan keberhasilan mengelola konflik. Berikut merencanakan perbaiakan.

PRINSIP DAN ACUAN UMUM DALAM MENGELOLA KONFLIK.

Gaya apapun yang diterapkan dalam mengelola konflik, Stevenin (2000:145—146) memberi saran, seperti :
1. Menggunakan energi bersama untuk menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan
2. Menyerang masalahnya, bukan orangnya. Memperbaiki masalahnya, bukan kesalahannya.
3. Memberi diri mendengarkan pihak lain disamping mengambil langkah-langkah yang perlu
4. Tidak menyerang seseorang dari belakang atau dari depan sekalipun
5. Mencari komunikasi yang terbuka, langsung dan dapat dipercaya, dengan tidak membiarkan konflik dipendam begitu saja.
6. Mengendalikan diri secara bertanggung jawab, dalam mengekspresikan emosi (rasa marah, takut, tidak cakap, dan sebagainya).
7. Tidak menyerang orang secara ucapan atau fisik
8. Tidak apa megalami konflik, karena kita percaya bahwa konflik dapat bermanfaat, membantu, berharga dan penting, serta tidak memendamkan atau menyembunyikan masalah

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates